Mengembalikan
Pancasila Sebagai Ideologi Perjuangan
”Tidak ada satu Weltanschauung
dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan
perjuangan!” (Soekarno, 1 Juni 1945)
Pada 21 Juni 40 tahun
lalu Bung Karno tiada. Namun, ia meninggalkan warisan besar berupa negeri
merdeka ini dan ideologinya.
Dengan menggali
Pancasila dari nilai-nilai luhur di bumi pertiwi, Soekarno memaksudkan
pandangan hidup atau weltanschauung bagi Indonesia merdeka itu sebagai
ideologi perjuangan.
Kehendak bersatu (le desir d’etre
ensemble) sebagai syarat bangsa dari Ernest Renan tak akan cukup
menjelaskan persoalan keadilan sosial dalam hubungan manusia dengan tempatnya
bernaung (tanah air), sehingga masalah ini justru akan mengancam keberlanjutan
kehendak bersatu itu.
Melalui ideologi
perjuanganlah, bangsa ini mampu mengelola kebhinnekaannya, sebagai usaha
bersama memperjuangkan kebebasan dari (freedom from) penindasan dan
pemiskinan, sekaligus kebebasan untuk (freedom for) menggapai keadilan
dan kemakmuran yang merata.
Tersandera
Sudah lama ideologi
perjuangan itu tersandera karena para pemegang kekuasaan tidak mengelola
optimal kebhinnekaan bangsa.
Keberagaman agama dan budaya diakui, namun masyarakat tidak dipupuk
kemampuannya untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleran, dan damai.
Bhinneka Tunggal Ika lebih banyak dipahami secara simbolis melalui
lambang-lambang kedaerahan, seperti baju tradisional, senjata adat, dan alat
musik, yang ditonjolkan dalam berbagai acara kenegaraan dan wisata.
Di masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti
SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang
sentralistik. Orde Baru menyebut Pancasila sebagai “ideologi bukan ini, bukan itu”, terus
menjadikannya sebagai “ideologi yang bukan-bukan”. Penguasa sering mencap “anti
Pancasila” terhadap pihak-pihak yang mengkritisi dan menentang kekuasaannya.
Kategori ekstrim kiri dan ekstrim kanan diberlakukan.
Weltanschauung direduksi menjadi formalisme butir-butir pekerti (36 butir) ala Eka
Prasetia Pancakarsa melalui Tap MPR No II/ MPR/ 1978 tentang P4.
Pasal 1 Tap MPR itu menyebutkan
bahwa P4 bukan merupakan tafsir Pancasila sebagai dasar negara, dan juga tidak
dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Artinya, Tap MPR tersebut
menyangkal dirinya sendiri sebagai tafsir resmi Pancasila.
Tanpa hubungan yang jelas antara Tap
MPR itu dengan Pancasila, Penataran P4 dijadikan sarana indoktrinasi yang diwajibkan
bagi warga negara. P4 menjadi syarat bagi para birokrat yang ingin berkarir di
birokrasi, para mahasiswa yang ingin meraih gelar sarjana, para pelajar, dan
pihak-pihak lain yang tidak ingin akses politik dan ekonominya tersumbat.
Mungkin sudah trilyunan rupiah dana
yang dikeluarkan, tapi Penataran P4 tidak jelas manfaatnya karena kesejahteraan
rakyat tidak ada hubungannya dengan P4, dan bahkan penataran tersebut tidak ada
kaitan dengan membaiknya moralitas pejabat, menurunnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pada era reformasi, kehidupan politik kian pragmatis dan terus berlangsung
tanpa Pancasila sebagai ideologi perjuangan.
Praksis tersebut tidak berlangsung dalam kevakuman. Ia berada dalam konteks
struktural menyangkut proses akumulasi modal dan pembentukan-pembentukan sosial
yang berlangsung secara nasional. Mengacu pada karya Foucault, Dicipline and
Punish, proses akumulasi modal menghendaki tipe-tipe subjek tertentu, serta
pranata-pranata sosial, politik, dan ekonomi tertentu.
Kebijakan pembangunan eksploitatif terus menjajakan
kekayaan alam negeri ini dan menempatkan penduduk sebagai sumber tenaga kerja
murah. Rakyat dipisahkan dari basis kehidupannya, adapun
tanah air yang luas dan kaya lebih dinikmati segelintir kalangan dalam negeri dan
pihak asing.
Hak-hak adat kurang dihargai. Penguasaan lahan petani makin sempit dan
jumlah petani yang berubah menjadi buruh tani kian banyak karena tidak lagi
memiliki lahan sendiri. Proletarisasi kaum tani membuat negeri ini menjadi
pemasok buruh rendah dan pembantu rumah tangga.
Lebih satu juta keluarga nelayan
masih menerima upah kurang dari dua dollar AS per hari dan semakin tergerus industri perikanan modern. Adapun pedagang kecil sering kesulitan
memperoleh tempat usaha, kerap diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat
tramtib, hingga menghadapi persaingan tidak seimbang dari jaringan pemasaran
modern.
Secara nasional, setelah Bank Dunia
mengumumkan garis kemiskinan sekarang adalah pendapatan sebesar dua dollar AS
per orang per hari, Kantor Perwakilan Bank Dunia di Jakarta menyatakan 112 juta
jiwa atau lebih 50% dari rakyat Indonesia miskin (berbeda dengan “klaim
pencitraan” pemerintah bahwa jumlah rakyat miskin “hanya” 32 juta jiwa atau
14%).
Rakyat yang termarginal tidak pernah mengalami Pancasila karena kepentingan
akumulasi modal yang timpang membuat Pancasila dipisahkan dengan
identitas-identitas lokal dan kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Di tengah menyempitnya ruang penghubung, perajut dan pemakna kesadaran
bersama, jiwa nasionalitas kehilangan daya dobraknya, sehingga menimbulkan
solidaritas sosial yang sempit dan mempengaruhi relasi-relasi sosial antar
agama, suku, dan etnis di masyarakat.
Ketidakmampuan memeriksa secara rasional relasi-relasi sosial merupakan
cermin dari kenyataan bahwa di masyarakat yang memiliki banyak ketimpangan
mengalami, meminjam istilah JΓΌrgen Habermas
(1979), systematically distorted communication, di mana komunikasi yang
terjadi cenderung terdistorsi dan semu di masyarakat, sehingga orang-orang
hanya mampu berkomunikasi dengan distorsi-distorsi tersebut.
Sejak dekade 1990-an, konflik antar suku dan agama terjadi di berbagai
wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Hingga kini, hubungan
antar golongan kerap tidak berlangsung sinergis.
Soliditas
Restrukturisasi
penguasaan sumber-sumber ekonomi yang adil merupakan isu penting untuk mengembalikan
Pancasila sebagai ideologi perjuangan.
Basis agraris dan maritim seharusnya dikembalikan seluasnya kepada warga
masyarakat. Landreform perlu digalakkan untuk merestrukturisasi
penguasaan tanah yang mengutamakan kepentingan petani gurem dan buruh tani.
Pembaruan kebijakan skema kredit, bantuan manajemen, dan jaringan pemasaran
sepatutnya diprioritaskan untuk kepentingan kaum tani, nelayan dan usaha kecil
sebagai mayoritas hidup rakyat. Adapun kesejahteraan dan peningkatan kemampuan
buruh harus menjadi perhatian.
Namun, pertanyaan besar akan selalu menggayut, seberapa solid kemampuan
bersama memperjuangkan cita-cita pendiri bangsa yang telah memerdekaan negeri ini?
Soekarno pernah berkata,
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan
lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar