MAKALAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Dibuat oleh :
ADIKA ABDUL ROHMAN S.
10509134030
KELAS D
JURUSAN TEKNIK OTOMOTIF
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesetiaaan , nasionalisme, dan patriotisme warga
Negara kepada bangsa dan negaranya dapat diukur dalam bentuk kesetiaan mereka
terhadap filsafat negaranya secara formal diwujudkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan (Undang-undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan
lainnya). Kesetiaan warga Negara tersebut tampak dalam sikap dan tindakan,
menghayati, mengamalkan dan mengamankan peraturan Perundangan-Undangan itu.
Pancasila adalah sendi, asas, dasar atau peraturan
tingkah laku yang penting dan baik. Secara singkat dapat diuraikan bahwa
kedudukan pancasila adalah sebagai dasar Negara RI. Untuk mengatur pemerintahan
dan penyelenggaraan Negara, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan sebagai
ligature bangsa Indonesia.
Kesetiaan ini
akan semakin kokoh apabila mengakui dan menyakini kebenaran, kebaikan dan
keunggulan pancasila sepanjang masa. Pancasila dalam kedudukannya sebagai
ideology Negara, di harapkan mampu filter untuk menyerap pengaruh perubahan
zaman di era globalisasi ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa
itu ideologi pancasila?
2.
Apa
implikasi logis pancasila sebagai ideology?
3. Relasi ideologi dengan
realitas sosial?
4.
Adakah kritik terhadap pancasila sebagai sebuah ideologi?
5.
Apa kekuatan pancasila sebagai sebuah ideologi?
6.
Bagaimana perjalanan pancasila sebagai
ideologi dari masa ke masa?
7.
Seperti apakah reaktualisasi ideologi pancasila?
BAB II
PEMBAHASAN
Pancasila merupakan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Pada pembahasan
kali ini, kita akan berusaha mempelajari bagaimanakah peran Pancasila sebagai
ideologi bangsa serta negara yang dapat memunculkan suatu interpretasi baru
untuk tumbuh dan berkembang, membentuk peraturan intelektual bagi kehidupan
masyarakat Indonesia, dan masih banyak lagi peran Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai awalan, banyak yang menyebutkan bahwa ideologi
Pancasila dapat membuka jalan bagi lahirnya interpretasi baru dan hal ini benar
adanya.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka yang melahirkan ideologi ini
dulu secara jujur mengakui keterbatasan-keterbatasan pemikiran mereka untuk
mampu memberikan pengertian dan analisa final yang dapat secara terus menerus.
Mereka tampaknya mengakui bahwa visi mereka tak mampu menjangkau perkembangan
apa yang akan terjadi di kemudian hari. Dengan memberikan peluang tersebut,
berarti mereka memberikan kesempatan bagi generasi baru untuk memperbaiki atau
menyempurnakannya, karena ideologi dituntut harus mempunyai fleksibilitas yaitu
membuka dirinya untuk diinterpretasikan kembali dari waktu ke waktu sesuai
dengan proses perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Apa Itu
Ideologi?
Secara etimologis, istilah ideologi berasal dari kata Yunani yaitu ‘idea’
yang berarti pemikiran, gagasan dan konsep keyakinan serta ‘logos’ yang berarti
pengetahuan. Dengan demikian, konsep ideologi pada dasarnya adalah ilmu
pengetahuan tentang gagasan, konsep keyakinan atau pemikiran. Ideologi dapat
dibedakan menjadi dua jenis:
Pertama, ideologi doktriner. Ideologi ini bersifat ketat dan
mengandung ajaran-ajaran yang disusun secara jelas dan sistematis, serta
diindoktrinasikan pada komunitasnya dengan pengawasan ketat dalam rangka
pelaksanaan ideologi dan seringkali dimonopoli oleh rezim yang berkuasa. Dalam
hal ini, berarti pemimpin suatu negara memiliki kendali penuh dan kekuasaan
dalam pelaksanaan negara beserta ideologi yang dianut. Kedudukan pemimpin
negara seolah berada di atas kedudukan ideologi dan sistem pemerintahan akan
bersifat otoriter.
Kedua, ideologi pragmatis. Ideologi ini bersifat tidak ketat dan mengandung
ajaran-ajaran yang tidak disusun secara rinci, tidak diindoktrinasikan, serta
tidak memiliki pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya (Emile Durkheim dalam
George Simpson, New York, Free Press, 1964.54).
Dalam pengertian lain, Alfian mendefinisikan ideologi sebagai akumulasi
nilai-nilai yang dianggap baik dan benar tentang tujuan yang ingin dicapai
masyarakat, sekaligus menjadi pedoman dan cita-cita pengatur perilaku
masyarakat dalam berbagai kehidupan. Karenanya, ideologi berfungsi menjadi
tujuan dan cita-cita bersama masyarakat, serta menjadi pedoman dan alat ukur
perilaku dalam hubungannya dengan kebijakan negara serta sebagai pemersatu masyarakat
karena menjadi prosedur penyelesaian konflik yang muncul dalam masyarakat
tersebut. (Alfian, Idiologi, Idealisme dan Integrasi Nasional, Prisma,
8-8-1976).
Implikasi
Logis Pancasila Sebagai Ideologi
Sejak dirumuskannya Pancasila sebagai ideologi bangsa, secara eksplisit
maupun implisit Pancasila mengandung konsekuensi logis bagi seluruh organ-organ
dan masyarakat yang hidup tumbuh berkembang dalam Negara Indonesia merdeka
untuk menyandarkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat atas dasar
Pancasila. Ideologi Pancasila juga memberikan sandaran bagi lalu lintas
kehidupan umat manusia di Indonesia.
Suatu ideologi yang dibuat harus berorientasi pada kehidupan masyarakat,
mengapa? Hal ini dikarenakan dalam setiap proses pergaulan, apalagi dalam
terminologi bangsa yang plural dan heterogen seperti Indonesia haruslah
dibutuhkan suatu ‘aturan main’ yang tentunya disepakati bersama untuk
memberikan arahan agar setiap konflik pluralitas dan heterogenitas yang mungkin
muncul akan dapat terminimalisir, serta bagaimana nilai-nilai dalam ideologi
tersebut mengkonstruk struktur sosial yang mempunyai visi kebangsaan yang sama
meski berawal dari keragaman (kepentingan). Namun demikian, bukan berarti
kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manifestasi ideologi. Sebab, selalu
saja dialektika yang berkesinambungan antara ideologi dengan kenyataan
kehidupan masyarakatnya akan menentukan kualitas dari ideologi tersebut.
Relasi
Ideologi dengan Realitas Sosial
Setelah berbicara panjang lebar dan mengenali suatu ideologi, lantas apakah
korelasi logis antara sebuah ideologi (dalam hal ini adalah Pancasila) dengan
kenyataan kehidupan masyarakat? Sebuah ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri dan lepas dari kenyataan hidup masyarakat, namun ideologi adalah sebuah
produk atau hasil dari kebudayaan masyarakat. Dan karenanya, dalam artian
tertentu merupakan manifestasi sosial dari keinginan luhur masyarakat. Artinya,
perumusan suatu ideologi Pancasila seharusnya dimaknai dari adanya keinginan
untuk mewujudkan suatu struktur dan konstruk masyarakat yang diidealisasikan
sesuai dengan keadaannya.
Pada hakikatnya sebuah ideologi tidak lain merupakan sebuah refleksi
manusia atas kemampuannya dalam mengadakan distansi terhadap dunia
kehidupannya. Maksud kalimat tersebut adalah bahwa antara ideologi dan
kenyataan hidup masyarakat terjadi sebuah hubungan dialektis yang menimbulkan kelangsungan
pengaruh hubungan timbal balik yang terwujud dalam sebuah interaksi. Dengan
demikian, ideologi mencerminkan cara berpikir dan bertata kehidupan masyarakat
serta membentuk masyarakat menuju cita-cita yang telah diharapkan bersama
sehingga ideologi seharusnya tidak hanya dianggap sebagai pengetahuan teoritis
saja, namun lebih merupakan sesuatu yang dihayati menjadi sebuah keyakinan.
Adakah
Kritik Terhadap Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi?
Dalam perjalanannya, Pancasila memang kerap kali mendapatkan kritik dari
masyarakat dengan melayangkan tuntutan-tuntutan yang bersifat memperdebatkan
‘keabsahan’ Pancasila sebagai sebuah ideologi Indonesia. Seperti munculnya
gagasan diberlakukannya federalisme dalam sistem kenegaraan Indonesia, fenomena
munculnya kembali partai-partai politik, organisasi massa dan organisasi
kepemudaan yang memakai asas di luar Pancasila dalam menjalankan aktivitas
administrasi dan organisasinya. Berbagai bentuk penyelewengan atas Pancasila
tidak harus dimaknai sebagai sebuah alasan untuk menggantikan ideologi suatu
negara. Penyelewengan adalah bukti ketidakseriusan pengelola negara dalam
menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Itulah sebabnya, agar
berbagai penyelewengan atas Pancasila dapat diminimalisir, maka sudah saatnya
Pancasila didudukkan kembali menjadi ideologi terbuka yang harus terus menerus
disempurnakan sehingga pada akhirnya selalu ‘up to date’ untuk menjawab
persoalan yang timbul di negara Indonesia.
Kekuatan
Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi
Kekuatan ideologi Pancasila dapat diukur dari tiga dimensi yang saling
berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat. Ketiga dimensi tersebut
adalah:
1.
Dimensi Realitas, dimana sebuah ideologi mengandung
makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari
nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakatnya.
2.
Dimensi Idealitas, dimana suatu ideologi harus
mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui idealisme atau cita-cita yang
terkandung dalam ideologi, suatu masyarakat akan mampu mengetahui ke mana
mereka ingin membangun kehidupan bersama.
3.
Dimensi Fleksibilitas, dimana
sebuah ideologi harus memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan
merangsang pengembangan pemikiran baru yang relevan tanpa menghilangkan atau
mengingkari hakikat yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Berdasar pada ketiga dimensi tersebut, Pancasila jelas memenuhi standar
realitas, idealitas dan fleksibilitas, karena dinamika internal yang terkandung
dalam sifatnya sebagai ideologi terbuka. Secara ideal-konseptual, Pancasila
adalah ideologi yang kuat, tangguh, kenyal dan bermutu tinggi. Dinamika
internal yang terkandung dalam suatu ideologi biasanya mempermantap,
mempermapan dan memperkuat relevansi ideologi tersebut dalam masyarakatnya.
Namun hal tersebut tetap bergantung pada kehadiran beberapa faktor di
dalamnya yaitu: kualitas nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut;
persepsi, sikap, dan tingkah laku masyarakat terhadapnya; kemampuan masyarakat
dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang relevan terhadap ideologinya;
serta menyangkut seberapa jauh nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi
tersebut membudaya dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dengan berbagai dimensinya.
Perjalanan
Pancasila Sebagai Ideologi dari Masa ke Masa
Berawal dari sidang pleno BPUPKI pertama yang diadakan pada tanggal 28 Mei
1945 hingga 1 Juni 1945. Ketika itu, dr. Radjiman Widyodiningrat dalam pidato
pembukaannya selaku ketua BPUPKI mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota
sidang mengenai dasar negara apa yang akan dibentuk untuk Indonesia. Pertanyaan
ini menjadi persoalan paling dominan sepanjang 29 Mei-1 Juni 1945 dan
memunculkan sejumlah pembicara yang mengajukan gagasan mereka mengenai dasar
filosofis Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945, secara eksplisit Ir. Soekarno mengemukakan
gagasannya mengenai dasar negara Indonesia dalam pidatonya yang berjudul
“Lahirnya Pancasila”. Menurut Drs. Mohammad Hatta, pidato tersebut bersifat
kompromis dan dapat meneduhkan pertentangan tajam antara pendapat yang
mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler.
Perdebatan tersebut pada akhirnya dimenangkan kelompok yang menginginkan Islam
sebagai dasar negara, terbukti dengan dikeluarkannya Piagam Jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ternyata beberapa rumusan Piagam
Jakarta diganti dan menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan
Soekarno dan Mohammad Hatta dan terus berkembang hingga masa pemerintahan
Soeharto, sampai-sampai Carol Gluck mengatakan bahwa Indonesia adalah negara
yang terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibandingkan negara-negara
lain. Melihat pada perkembangan perumusan Pancasia sejak 1 Juni sampai 18
Agustus 1945, dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi.
Pada tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan Panitia Sembilan dan
disepakati oleh Sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara kelompok
yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang memperjuangkan
dasar negara Islam. Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila yang
dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi kompromi antara kaum
nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara.
Pada era Orde Lama, dinamika perdebatan ideologi paling sering dibicarakan
oleh kebanyakan orang. Tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah bukan
lagi merupakan kompromi atau titik temu bagi semua ideologi. Dikarenakan Pancasila
telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk melegitimasi tuntutan Islam
bagi pengakuan negara atas Islam yang kemudian pada rentang tahun 1948-1962
terjadi pemberontakan Darul Islam terhadap pemerintah pusat. Setelah
pemberontakan berhasil ditumpas, atas desakan AH Nasution, selaku Pangkostrad
dan kepala staf AD, pada 5 Juli 1959 Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
untuk kembali pada UUD 1945 sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik
Indonesia dan pemerintahannya dinamai dengan Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin pun ternyata tidak semulus yang diharapkan.
Periode labil ini justru telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi,
karena dianggap ikut andil dalam pemberontakan regional berideologi Islam.
Bahkan, Soekarno membatasi kekuasaan partai politik yang ada serta mengusulkan
agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep
musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Soekarno juga
menganjurkan sebuah konsep yang dikenal dengan NASAKOM yang berarti persatuan
antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan politis dan ideologis
yang saling bertentangan menimbulkan struktur politik yang sangat labil sampai
pada akhirnya melahirkan peristiwa G 30S/PKI yang berakhir pada runtuhnya
kekuasaan Orde Lama.
Selanjutnya pada masa Orde Baru, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim
baru adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Soeharto
mengambil Pancasila sebagai dasar negara dan ini merupakan cara yang paling
tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Berbagai bentuk perdebatan ternyata
tidak semakin membuat stabilitas negara berjalan dengan baik, tetapi justru
struktur politik labil yang semakin mengedepan dikarenakan Soeharto seringkali
mengulang pernyataan tegas bahwa perjuangan Orde Baru hanyalah untuk
melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, yang berarti bahwa tidak
boleh ada yang menafsirkan resmi tentang Pancasila kecuali dari pemerintah yang
berkuasa.
Pada masa reformasi (setelah rezim Soeharto runtuh), seolah menandai adanya
jaman baru bagi perkembangan perpolitikan nasional sebagai anti-tesis dari Orde
Baru yang dianggap menindas dengan konfrimitas ideologinya. Pada era ini timbul
keingingan untuk membentuk masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan
sosial tanpa kooptasi penuh dari negara. Lepas kendalinya masyarakat seolah
menjadi fenomena awal dari tragedi besar dan konflik berkepanjangan. Tampaknya
era ini mengulang problem perdebatan ideologi yang terjadi pada masa Orde Lama,
Orde Baru, yang berakhir dengan instabilitas politik dan perekonomian secara
mendasar. Berbagai bentuk interpretasi monolitik selama ini cenderung
mengaburkan dan menguburkan makna substansial Pancasila dan berakibat pada
Pancasila yang menjadi sebuah mitos, selalu dipahami secara politis-ideologis
untuk kepentingan kekuasaan serta nilai-nilai dasar Pancasila menjadi nilai
yang distopia, bukan sekedar utopia.
Seperti
Apakah Reaktualisasi Ideologi Pancasila?
Pancasila jika akan dihidupkan secara serius, maka setidaknya dapat menjadi
etos yang mendorong dari belakang atau menarik dari depan akan perlunya
aktualisasi maksimal setiap elemen bangsa. Hal tersebut bisas saja terwujud
karena Pancasila itu sendiri memuat lima prinsip dasar di dalamnya, yaitu:
Kesatuan/Persatuan, kebebasan, persamaan, kepribadian dan prestasi. Kelima
prinsip inilah yang merupakan dasar paling sesuai bagi pembangunan sebuah
masyarakat, bangsa dan personal-personal di dalamnya.
Menata sebuah negara itu membutuhkan suatu konsensus bersama sebagai alat
lalu lintas kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa konsensus tersebut,
masyarakat akan memberlakukan hidup bebas tanpa menghiraukan aturan main yang
telah disepakati. Ketika Pancasila telah disepakati bersama sebagai sebuah
konsensus, maka Pancasila berperan sebagai payung hukum dan tata nilai
prinsipil dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Dan sebagai ideologi yang dikenal oleh masyarakat internasional, Pancasila
juga mengalami tantangan-tantangan dari pihak luar/asing. Hal ini akan
menentukan apakah Pancasila mampu bertahan sebagai ideologi atau berakhir
seperti dalam perkiraan David P. Apter dalam pemikirannya “The End of
Idiology”. Pancasila merupakan hasil galian dari nilai-nilai sejarah bangsa
Indonesia sendiri dan berwujud lima butir mutiara kehidupan berbangsa dan
bernegara, yaitu religius monotheis, humanis universal, nasionalis patriotis
yang berkesatuan dalam keberagaman, demokrasi dalam musyawarah mufakat dan yang
berkeadilan sosial.
Dengan demikian Pancasila bukanlah imitasi dari ideologi negara lain,
tetapi mencerminkan nilai amanat penderitaan rakyat dan kejayaan leluhur
bangsa. Keampuhan Pancasila sebagai ideologi tergantung pada kesadaran,
pemahaman dan pengamalan para pendukungnya. Pancasila selayaknya tetap bertahan
sebagai ideologi terbuka yang tidak bersifat doktriner ketat. Nilai dasarnya
tetap dipertahankan, namun nilai praktisnya harus bersifat fleksibel. Ketahanan
ideologi Pancasila harus menjadi bagian misi bangsa Indonesia dengan keterbukaannya
tersebut.
Pada akhirnya, semoga seluruh bangsa dan negara Indonesia serta Pancasila
sebagai ideologinya akan tetap bertahan dan tidak goyah meskipun dihantam badai
globalisasi dan modernisme. Sebagai generasi penerus, marilah kita menjaga
Indonesia dan Pancasila agar saling berdampingan dan tetap utuh hingga anak
cucu kita nantinya sebagai penerus kelangsungan negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar